Kamis, 26 November 2009

DASAR-DASAR PEMROSESAN KOMPUTER

DASAR-DASAR PEMROSESAN KOMPUTER

I. ARSITEKTUR KOMPUTER

Komputer dengan tujuan umum memiliki tipe komponen yang sama, yaitu :

- Prosesor

- Memori

- Penyimpanan sekunder

- Perangkat Input

- Perangkat Output








INPUT

INPUT



Gambar Skema Komputer

Mesin pemroses lebih dikenal dengan CPU, mikroprosesor atau prosesor. Prosesor adalah komponen yang berupa chip. Chip adalah sekeping silicon berukuran bebrapa millimeter persegi yang mengandung puluhan ribu transistor dan komponen elektronik yang lain.

Penyimpanan Primer

Ukuran kapasitas penyimpanan primer :

Satuan

Ekivalen

Keterangan

Byte

8 bit

Untuk menyimpan sebuah karakter pada sistem ASCII atau EBCDIC

Kilobyte

1024 byte

Awal PC hanya memiliki memori 640 byte

Megabyte

1024 KB

Memori PC pd saat ini berkisar antara 64 – 256 Megabyte

Gigabyte

1024 MB

Ukuran hard disk yang digunakan berkisar antara 20 – 40 gigabyte

Terabyte

1024 GB

Database yang sangat besar

Pentabyte

1024 TB

Penggunaan di masa datang

Bentuk Penyimpanan Sekunder :

· RAM (Random Access Memory), jenis penyimpanan primer yang mudah hilang (volatile) karena data akan hilang jika listrik padam.

· ROM (Read Only Memory), jenis penyimpanan sekunder yang bersifat non-volatile karena data disimpan secara permanent dan jika listrik padam data tidak akan hilang

· Cache Memory, merupakan RAM khusus yang bekerja sangat cepat dan digunakan untuk membantu RAM biasa dalam proses data.

B. PERALATAN INPUT

1. KEYBOARD

Unit input yang paling popular, dimana pengguna memasukan data dengan menekan tombol-tombol yang tepat.

2. ALAT PENUNJUK

· Mouse

· Trackball

· Touch Screen

· Light Pen

· Unit Remote Control

3. ALAT INPUT OTOMATIS DATA SUMBER

· Alat Pembaca Optis, alat input yang membaca data dengan menyinari suatu sinar terang di atas data dan kemudian menangkap citra yang terpantul pada matriks sel-sel photoelectric. Contoh : Scanner, OCR (Optical Character Recognition), OMR (Optical Mark Reader)

· Alat Pembaca Magnetis, alat pembaca yang menggunakan tinta khusus yang berisi zat yang dapat diberi muatan magnet. Contoh : MICR (Magnetic Ink Character Recognition).

4. ALAT INPUT PENGENAL SUARA

Unit pengenal suara (speech recognition unit)

· Mikropon

· Automatic Speech Recognation (ASR)

· Touchtone

5. ALAT INPUT VIDEO

Video Camera recorder atau Camcoder

6. ALAT INPUT PENERIMA GERAK

· Headset

· Glove

· Walker

C. PENYIMPANAN SEKUNDER

· Pita Magnetik : Reel Tape dan Tape Cartridge

· Hard Disk : Removable dan Non removable

· Floppy Disk

· Piringan Optik : CD, DVD

· USB Flash Disk

· Smart Card

· Kartu memori

D. PERALATAN OUTPUT

Dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Softcopy, terdiri dari dua jenis :

· Monitor : CRT dan Layar Datar (LCD, EL, Plasma)

· Audio

2. Hardcopy, terdiri dari :

· Printer : Impact, Thermal, Inkjet, Laser, Multifungsi

· Plotter : Pena, Electrostatis, Thermal, Pemotong, Format Le bar

· Computer Output Microfilm (COM)

II. SOFTWARE

Perangkat lunak terbagi menjadi dua, yaitu :

A. Perangkat Lunak Sistem

· Perangkat lunak yang melaksanakan tuga-tugas dasar tertentu yang diperlukan semua pemakai computer.

· Ada tiga jenis dasar perangkat lunak sistem :

§ Sistem Operasi, berfungsi sebagai interface antara pemakai, perangkat lunak yang memproses data perusahaan dan perangkat keras. Contoh : Windows XP, DOS, UNIX

Ada enam fungsi dasar sistem operasi :

1. Menjadwalkan Tugas

2. Mengelola sumber daya perangkat keras dan perangkat lunak

3. Menjaga keamanan sistem

4. Memungkinkan pembagian sumber daya untuk beberapa pemakai

5. Menangani Interrupt

6. Menyiapkan catatan pemakaian

§ Program Utility, suatu routine yang memungkinkan pemakai untuk melaksanakan operasi pemrosesan data dasar tertentu yang tidak unik pada satu aplikasi pemakai tertentu.

§ Penerjemah Bahasa Komputer

- Bahasa Generasi Pertama, Bahasa Mesin (machine language)

- Bahasa Generasi Kedua, Assembler

- Bahasa Generasi Ketiga, Compiler dan Interpreter

- Bahasa Generasi Keempat, Bahasa Alamiah 4GL, memungkinkan programmer atau pemakai menginstruksikan computer apa dan bagaimana operasi tersebut dilakukan. Di Bawah ini yang termasuk kedalam generasi bahasa keempat :

1. Database Query Language

2. Modelling Language, khusus dirancang untuk pembuatan model matematika. Contoh : GPSS

3. Very High Level Language : PASCAL, APL

4. Graph Generators : paket grafik

5. Report Writer : COBOL, RPG

6. Aplication Generators : program aplikasi pembayaran gaji

B. Perangkat Lunak Aplikasi

1. Pemrograman Sendiri

Perusahaan menempatkan spesial informasi untuk melakukan tugas merancang sistem berbasis computer yang memenuhi kebutuhan unit perusahaan.

2. Paket Jadi

Ada empat kelompok besar :

§ Paket Aplikasi Bisnis Umum

§ Paket Aplikasi Khusus Industri

§ Paket Aplikasi Peningkatan Produktivitas Organisasi

§ Paket Peningkatan Produktivitas Perorangan

III. PERANAN PERALATAN INPUT DAN OUTPUT SERTA SOFTWARE DALAM PEMECAHAN MASALAH

Keseluruhan komponen perangkat input, output dan software dapat berperan langsung maupun tidak langsung dalam pemecahan masalah. Semuanya saling behubungan dan mendukung kegiatan satu dengan yang lainnya. Perangkat input dan output berperan dalam proses penyelesaian masalah dalam hal perangkat keras, sedangkan perangkat lunak, baik sistem maupun aplikasi membantu para manajer untuk meningkatkan produktivitas organisasi dan perorangan, dengan menyederhanakan penciptaan dan transmisi data.

Senin, 23 November 2009

Presiden Perlu Dukung Pemberantasan Korupsi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu memberikan dukungan politik terhadap gerakan pemberantasan korupsi. Gerakan pemberantasan korupsi yang selama ini dimotori Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dinilai tidak akan mampu menyentuh para ”godfather” atau koruptor kakap, apalagi tanpa mendapat dukungan Presiden.

Demikian kesimpulan dalam diskusi dengan pembicara Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana bertema ”Demokrasi dan Pemberantasan Korupsi” yang diselenggarakan Sekolah Demokrasi Banyuasin, Minggu (13/7) di Palembang, Sumatera Selatan.

Denny menuturkan, dibandingkan presiden sebelumnya, Yudhoyono lebih baik dalam hal pemberantasan korupsi. Namun, ia belum memimpin langsung gerakan pemberantasan korupsi.

Menurut Denny, sekarang yang terjadi adalah peningkatan pemberantasan korupsi oleh KPK sebagai lembaga negara independen. Peningkatan pemberantasan korupsi belum dilakukan lembaga negara di bawah Presiden, seperti kejaksaan. Justru aparat kejaksaan yang ditangkap KPK.

”Untuk memberantas korupsi, Presiden harus mendorong KPK supaya menangkap para ’godfather’. Dorongan itu memang memerlukan political will yang sumber utamanya pada Presiden. Dengan demikian, KPK memiliki tameng jika para ’godfather’ menyerang balik,” ujarnya.

Para ”godfather” tersebut, ujar Denny, berada di empat pilar korupsi, yaitu di lingkungan istana (korupsi di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif), Cendana (kasus korupsi masa lalu), senjata (korupsi di lingkungan militer), dan pengusaha.

Pemerintahan yang “bongsor”, “langsing” atau “kuat”?

MEREKA yang akrab dengan perdebatan filsafat politik tentu paham benar tentang suatu soal yang menjadi debat seru di kalangan “political theorists”, yaitu soal ukuran besar kecilnya pemerintahan: apakah pemerintahan harus langsing atau bongsor?

Kalangan konservatif atau kanan (dalam tradisi politik di Amerika diwakili oleh Partai Republik) cenderung pada bentuk pemerintahan yang langsing, ramping, dan kecil. Filosofi yang mendasari pandangan ini sangat masuk akal: masyarakat diandaikan seperti sebuah “pasar” yang bekerja seturut hukum-hukum tertentu. Intervensi pemerintah yang berlebihan dalam bekerjanya hukum masyarakat ini akan menimbulkan distorsi.

Selain itu, pemerintahan yang besar dan bongsor seringkali membawa dampak sampingan yang berbahaya, yaitu korupsi, monopoli, dst. Pemerintahan yang besar juga membawa kosekwensi lain dari sudut fiskal, yaitu biaya yang mahal, dan karena itu menuntut pajak yang tinggi. Bagi kalangan praktisi ekonomi, pajak yang tinggi akan mengendorkan sektor usaha, dan pada gilirannya akan mengganggu upaya penciptaan lapangan kerja. Ujung terjauh adalah lambatnya pertumbuhan ekonomi.

Karena asumsi-asumi semacam ini, kaum konservatif di bangku sebelah kanan cenderung pada pemerintahan yang langsing dan ramping, karena hanya bentuk pemerintahan seperti inilah yang bisa menangkal kemungkinan terjadinya korupsi, salah-urus, selain murah dan efektif.

Kaum konservatif melihat pemerintahan sebagai semacam “necessary evil” atau kejahatan yang terpaksa harus dilakukan karena adanya maslahat tertentu yang bisa dicapai melalui institusi itu. Kaum konservatif jelas bukan kaum anarkis. Meskipun mereka curiga pada pemerintah dan negara, mereka sangat membenci “anarki” dan menekankan “order” atau keteraturan. Bagi mereka, mekanisme sosial yang paling baik untuk mempertahankan keteraturan adalah tradisi, nilai-nilai, asosiasi sukarela yang dikelola sendiri oleh masyarakat, semacam “jam’iyyah” seperti dipahami oleh warga Nahdlatul Ulama (NU).

Itulah yang menjelaskan kenapa kaum konservatif sangat peduli dengan lembaga keluarga. Bagi kaum konservatif, jika ada anggota masyarakat jatuh sakit atau bangkrut, bukan tugas negara untuk menolongnya. Yang pertama-tama wajib memberikan uluran tangan adalah keluarga, tetangga atau komunitas yang menjadi “pengayom” orang bersangkutan. Masyarakat mempunyai “mekanisme sosial” untuk mengatasi “penyakit sosial” yang muncul di kalangan mereka. Negara tak usah ikut campur. Sebagaimana saya katakan di atas, mereka curiga pada pemerintah dan negara, dan lebih percaya pada kekuatan lembaga sosial.

Inilah filosofi kaum konservatif atau kanan. Tentu, apa yang saya sampaikan ini adalah semacam “karikatur” yang hanya memotret ciri-ciri pokok dalam filsafat kaum konservatif sambil memberikan penekanan yang berlebihan pada segi-segi tertentu agar tampak kontras yang ada di dalamnya.

Di seberang kaum konservatif kita jumpai sejumlah pandangan, mazhab, dan arus pemikiran yang bermacam-macam, dan karena tak ada istilah tunggal yang bisa merangkum semuanya, kita sebut saja arus pemikiran kedua ini sebagai kaum kiri (dalam tradisi politik Amerika diwakili oleh Partai Demokrat).

Dalam pandangan mazhab kedua ini, negara adalah institusi yang menjadi harapan pokok masyarakat. Negara adalah “the great dispenser of social welfare”. Negara adalah institusi yang membagi-bagikan tunjangan kepada masyarakat yang tidak mampu. Negara dibebani tugas besar untuk mengatasi semua “kegagalan sosial” yang ada dalam masyarakat.

Karena negara mendapat tugas yang besar, dengan sendirinya negara menjadi gemuk, bongsor, dan menggelembung. Mazhab ini mengkritik kalangan kanan atau konservatif dengan argumen yang tak kalah menariknya. Bagi mereka, mengandaikan masyarakat sebagai sebuah “pasar” yang bekerja menurut hukum-hukum tertentu, sangat tidak realistis. Bentuk masyarakat seperti itu tak ada dalam dunia kongkrit. Negara tidak bisa duduk mencangkung sebagai penonton saja saat terjadi malapetaka dalam masyarakat. Negara harus turun tangan dan ikut menyelesaikannya.

Negara tak bisa membiarkan masyarakat mengatasi masalah sendiri. Alasan berdirinya negara adalah persis untuk menolong masyarakat, bukan sekedar menjadi “polisi yang menjaga lalu-lalang lalu-lintas”. Kaum kiri, dengan kata lain, melihat negara sebagai “mesiah” yang diharapkan memberikan pertolongan dalam semua hal.

Dalam mazhab ini, intervensi negara dalam banyak wilayah masyarakat menjadi besar, terutama dalam wilayah kesejahteraan sosial dan pembangungan ekonomi.

APAKAH perdebatan tentang bentuk negara ini relevan untuk konteks kita di Indonesia saat ini?

Saya kira, masalah yang kita hadapai di Indoensia saat ini bukanlah pemerintah yang bongsor atau langsing. Isu yang jauh lebih urgen adalah soal pemerintah yang kuat dan kompeten. Perdebatan dalam konteks politik Indonesia memang agak sedikit lain.

Pada masa Orde Baru dulu kita akrab dengan perdebatan tentang istilah “strong state”, “negara kuat”, yang pada masa itu dipahami sebagai negara integralistik yang otoriter seperti tercermin dalam contoh pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto dulu. Negara ini melakukan intervensi di segala bidang, baik politik, ekonomi, dan budaya. Yang kita lihat pada zaman itu adalah semacam “etatisme” atau kuatnya peran negara atau pemerintah dalam semua bidang. Istilah “regime” tepat untuk menggambarkan pemerintahan pada saat itu, yakni suatu sistem politik yang menegakkan kontrol dalam semua bidang.

Semua orang pada zaman itu memprotes bentuk negara kuat seperti itu. Sekarang, kita menyaksikan hancurnya bentuk negara otoriter seperti itu. Yang kita lihat setelah era reformasi saat ini adalah negara lemah yang lamban, ragu-ragu, dan sama sekali tak kompeten dalam mengatasi masalah. Apakah bentuk negara/pemerintahan seperti ini yang kita inginkan?

Saya sendiri cenderung mengatakan: tidak. Pemerintah yang lemah, sebagaimana kita lihat sendiri, membawa banyak masalah yang teramat serius. Kasus kekerasan sosial dan persekusi agama yang terjadi akhir-akhir ini adalah dampak dari negara atau pemerintahan yang lemah, lamban dan ragu-ragu.

Pemerintahan yang kuat adalah syarat pokok untuk berjalannya suatu “governance” yang normal dan baik. Mungkin, perlu cara pandang lain untuk mendefinisikan pemerintah kuat saat ini. Pemerintah kita sebuat kuat bukan dalam pengertian otoriter dan intrusif seperti dalam pengalaman Orde Baru dulu. “Kuat” di sini kita pahami sebagai kemampuan pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh publik. Tetapi ia tetap pemerintahan yang demokratis karena selalu terbuka pada kritik, kontrol, dan sirkulasi (melalui pemilu yang “fair”).

Pasar Tradisional vs Pasar Modern

Berbeda dengan pasar modern, pasar tradisional sejatinya memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional.

Namun, selain menyandang keunggulan alamiah, pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.

Ketika konsumen menuntut ’nilai lebih’ atas setiap uang yang dibelanjakannya, maka kondisi pasar pasar tradisional yang kumuh, kotor, bau, dengan atmosfir seadanya dalam jam operasional yang relatif terbatas tidak mampu mengakomodasi hal ini. Kondisi ini menjadi salah satu alasan konsumen untuk beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Artinya, dengan nilai uang yang relatif sama, pasar modern memberikan kenyamanan, keamanan, dan keleluasaan berbelanja yang tidak dapat diberikan pasar tradisional.

Kondisi ini diperburuk dengan citra pasar tradisional yang dihancurkan oleh segelintir oknum pelaku dan pedagang di pasar. Maraknya informasi produk barang yang menggunakan zat kimia berbahaya serta relatif mudah diperoleh di pasar tradisional, praktek penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain dalam aktifitas penjualan dan perdagangan telah meruntuhkan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional.

Belum lagi kenyataan, Indonesia adalah negara dengan mayoritas konsumen berasal dari kalangan menengah ke bawah. Kondisi ini menjadikan konsumen Indonesia tergolong ke dalam konsumen yang sangat sensitif terhadap harga. Ketika faktor harga rendah yang sebelumnya menjadi keunggulan pasar tradisional mampu diruntuhkan oleh pasar modern, secara relatif tidak ada alasan konsumen dari kalangan menengah ke bawah untuk tidak turut berbelanja ke pasar modern dan meninggalkan pasar tradisional.

Ancaman Pasar Modern Terhadap Pasar Tradisional

Eksistensi pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor (2004) hypermarket meru-pakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi (14.2%), minimarket / convenience stores (12.5%), independent grocers (8.5%), dan su-permarket (3.5%).

Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4% pertahun terhadap pasar tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11.8% selama lima tahun terakhir. tiga tahun terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24.8% maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4% tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8% konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern.

Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia.

Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu adanya langkah nyata dari pedagang pasar agar dapat mempertahankan pelanggan dan keberadaan usahanya. Para pedagang di pasar tradisional harus mengembangkan strategi dan membangun rencana yang mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan konsumen sebagaimana yang dilakukan pasar modern. Jika tidak, maka mayoritas pasar tradisional di Indonesia beserta penghuninya hanya akan menjadi sejarah yang tersimpan dalam album kenangan industri ritel di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat. (*)Pertarungan sengit antara pedagang tradisional dengan peritel raksasa merupakan fenomena umum era globalisasi. Jika Pemerintah tak hati-hati, dengan membina keduanya supaya sinergis, Perpres Pasar Modern justru akan membuat semua pedagang tradisional mati secara sistematis.
Hanya tinggal menunggu waktu pasar tradisional akan mati oleh pasar modernSetelah tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern (biasa disebut Perpres Pasar Modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember 2007 lalu.

Enam pokok masalah diatur dalam Perpres yaitu definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal zonasi atau tata letak pasar tradisional dan pasar modern (hypermart), menurut Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Ini membuat pemerintah pusat terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat tata letak justru merupakan persoalan krusial sebab tak pernah konsisten dipatuhi, yang lalu membenturkan keduanya. Pendirian Carrefour di kawasan CBD Ciledug, Kota Tangerang, Banten, misalnya. Awalnya Carrefour Ciledug ditolak keras oleh semua pedagang tradisional di sekelilingnya, tetapi pada akhirnya bisa beroperasi dengan mulus persis menjelang Natal 2007.

Pengalihan kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pasar Modern (IUPM) ke Pemda, memungkinkan pasar tradisional selalu dikorbankan dengan berbagai alasan. Indikasinya, sebagian besar pasar modern tidak memiliki IUPM dari pemerintah pusat. “Untuk masalah zonasi, Pemda diberi waktu tiga tahun untuk menyusun rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW) yang mengacu kepada Undang-Undang Tata Ruang,” kata Ardiansyah Parman, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Depdag.

Akan Mati Semua
Penandatanganan Perpres berlangsung setelah PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk melepas bisnis ritelnya, dengan menjual seluruh kepemilikan sahamnya di PT Alfa Retailindo Tbk pada 5 Oktober 2006, dan di PT Sumber Alfaria Trijaya 15 Desember 2006. Ribuan outlet Alfamart dan Alfamidi tersebar di kawasan pemukiman warga, belum termasuk Alfa Rabat sekelas supermarket sebanyak 29 buah.

Setelah itu muncul kabar raksasa ritel asal Perancis PT Carrefour Indonesia sepakat untuk membeli 75 persen saham Alfa Ratailindo, dengan menyasar supermarketnya. Nota kesepahaman pembelian saham ditandatangani di Singapura 17 Desember 2007, dilanjutkan negosiasi pembelian saham pada 6 Januari 2008, menjadikan Carrefour berpotensi memonopoli usaha ritel sebab tampil sebagai market leader dan price leader.

Apabila pembelian saham Alfa benar-benar terjadi, maka, langkah perubahan Alfa Rabat menjadi Carrefour akan sama persis mengikuti jejak perubahan Hero menjadi Giant, atau supermarket Matahari menjadi Hypermart.

Masih terlalu dini, memang, untuk menilai ada keterkaitan antara berbagai aksi korporasi perusahaan terbuka di atas dengan keluarnya Perpres Pasar Modern. Tetapi bersamaan dengan Perpres pasar Modern dikeluarkan pula Perpres No 111 tentang Perubahan Atas Perpres No 77 Tahun 2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, atau tentang Daftar Negatif Investasi (DNI), yang memberikan penegasan perihal penanaman modal asing di sektor ritel. Sebagai misal, definisi supermarket, minimarket, dan departemen store skala kecil dicantumkan dalam kelompok usaha ritel dengan syarat 100 persen modal dalam negeri. Investor asing ditentukan hanya boleh masuk dalam bisnis supermarket ukuran besar dengan luasan lantai penjualan lebih dari 1.200 meter persegi (m2), dan departemen store besar yang berukuran lebih dari 2.00 m2.

Dari sisi pemerintah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berharap Perpres dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan pasar tradisional, sekaligus menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk bisnis ritel. “Perpres ini intinya mengatur masalah zonasi, bagaimana perlindungan pasar tradisional dan ekspansi. Juga, bagaimana supaya pengaturan lokasi pasar tradisional dan ritel modern akan bisa lebih bagus,” kata Mari.
Ketika memberikan penjelasan kepada wartawan di Kantor Pusat Bulog di Jakarta Jumat (28/12), Mari mengatakan, dengan pemberlakuan Perpres persoalan rebutan pelanggan antara ritel tradisional dan modern bisa diminimalisasi.

Mari percaya, perlindungan pasar tradisional bisa dilakukan karena aturan pembangunan pasar harus mengacu pada tata ruang dan wilayah yang sudah dimiliki Pemda. Termasuk pengucuran kredit usaha rakyat kepada pedagang tradisional. “Dengan keluarnya Perpres ini maka akan memperlancar program pemberdayaan untuk pedagang seperti pengucuran kredit mikro dan sebagainya,” kata Mari. Ia mengingatkan, perbaikan kinerja ritel tradisional perlu ditingkatkan. Salah satunya dengan memperbaiki bangunan pasar tradisional, serta pemberdayaan pedagang kecil dan peritel tradisional melalui berbagai program.

Pemberlakuan aturan baku pendirian pasar tradisional dan pasar modern akan membuat persaingan keduanya semakin sengit di masa-masa mendatang. Data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyebutkan, hypermarket telah menyebabkan gulung tikarnya pasar tradisional dan kios pedagang kecil-menengah. Data yang dikumpulkan APPSI pada tahun 2005, saat hypermarket belum begitu menggejala seperti sekarang, memaparkan, di Jakarta terdapat delapan pasar tradisional dan 400 kios yang tutup setiap tahun karena kalah bersaing dengan hypermarket.

Putri Kuswisnu Wardani, Juru Bicara 9 Aliansi Multi Industri mengatakan, para pedagang di pasar tradisional tidak akan pernah mungkin bisa bersaing dengan peritel besar pemilik hipermarket atau supermarket. Pasar tradisional juga tidak bisa melakukan minus margin untuk menarik konsumen, karena tidak ingin menekan pemasok dan produsen.

“Jadi sudah dapat dipastikan pasar tradisional akan mati semua dan tinggal tunggu waktu saja. Arahnya sudah kelihatan. Yang bisa menolong pasar tradisional dan industri nasional (yang barang-barangnya dijual di hipermarket) dari kehancuran adalah niat dan keberpihakan dari pemerintah,” ucap Putri. HT (BI 54)